(MAKALAH FARMAKOLOGI FARMASI) FARMAKOKINETIK


BAB I
PENDAHULUAN


1.1     Latar Belakang
Obat ialah setiap zat kimia yang dapat mempengaruhi proses hidup, maka farmakologi merupakan ilmu yang sangat luas cakupannya. Farmakologi mencakup pengetahuan tentang sejarah, sumber, sifat kimia dan fisik, komposisi, efek fisiologi dan biokimia, mekanisme kerja abbsorpsi, distribusi, biotransformasi, ekskresi dan penggunaan obat. Seiring dengan berkembangnya pengetahuan, beberapa bidang ilmu tersebut telah berkembang menjadi ilmu tersendiri.
Cabang farmakologi diantaranya farmakognosi, farmakologi klinik, toksikologi serta farmakokinetik. Pada penulisan makalah ini akan dibahas tentang aspek farmakokinetik.

1.2     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut.
1.    Apa yang dimaksud dengan farmakokinetika?
2.    Apa saja tahapan farmakokinetika?

1.3    Tujuan Penulisan
1.    Mampu mengetahui apa itu farmakokinetik
2.    Untuk mengetahui nasib obat didalam tubuh melalui absorpsi, distribusi, metabolisme dan eksresinya.
3.    Untuk mengetahui efek obat didalam tubuh serta mekanismenya. 
BAB II
PEMBAHASAN


2.1     Pengertian Farmakokinetik
Farmakokinetik merupakan ilmu yang mempelajari kinetika absorbs, distribusi dan eliminasi/penghilangan obat dari dalam tubuh( ekskresi dan metabolism) obat pada manusia atau hewan dan menggunakan informasi ini untuk meramalkan efek perubahan perubahan dalam takaran, rejjimen takaran, rute pemberian, dan keadaan fisiologi pada penimbunan dan disposisi obat atau secara singkat nya PENGARUH TUBUH TERHADAP OBAT.
Absorbsi, distribusi, biotransformasi, dan eliminasi suatu obat suatu tubuh merupakan proses dinamis yang kontinu dari saat suatu obat dimakan sampai semua obat tersebut hilang dari tubuh. Laju terjadinya proses-proses ini memengaharuhi onset, intensitas, dan lamanya kerja obat di dalam tubuh. 
   
2.2     Absorpsi penyerapan obat dari tempat pemberian ke pembuluh darah
Absorpsi adalah pergerakan partikel-partikel obat dari saluran gastrointestinal ke dalam cairan tubuh melalui absorpsi pasif, absorpsi aktif atau pinositosis. Kebanyakan obat oral diabsorpsi di usus halus melalui kerja permukaan vili mukosa yang luas. Jika sebagian dari vili ini berkurang, karena pengangkatan sebagian dari usus halus, maka absorpsi juga berkurang. Obat-obat yang mempunyai dasar protein, seperti insulin dan hormone pertumbuhan, dirusak di dalam usus halus oleh enzim-enzim pencernaan. 
Absorpsi pasif umumnya terjadi melalui difusi (pergerakan dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah ). Dengan proses difusi,0 obat tidak memerlukan energy untuk menembus membrane. 
Absorpsi aktif membutuhkan karier (pembawa) untuk bergerak melawan perbedaan konsentrasi. Sebuah enzim atau protein dapat membawa obat-obat menembus membrane dengan proses menelan. Membrane gastrointestinal terutama terdiri dari lipid (lemak) dan protein, sehingga obat-obat yang larut dalam lemak cepat menembus memmbran gastronintestinal. Obat-obat yang larut dalam air membutuhkan karier, baik berupa enzim maupun protein, untuk melalui membrane. Partikel-partikel besar menembus membrane jika telah menjadi tidak bermuatan (nonionized, tidak bermuatan positif ata negative). Obat-obat asam lemah, seperti aspirin, menjadi kurang bermuatan di dalam lambung, dan aspirin melewati lambung dengan mudah dan cepat. Asam hidroklorida merusak bebrapa obat, seperti penisilin G, oleh karena itu, penisilin oral diperlukan dalam dosis besar karena sebagian hilang akibat cairan lambung.
INGAT: Obat-obat yang larut dalam lemak dan tidak bermuatan diabsorpsi lebih cepat dari pada obat-obat yang larut dalam air dan bermuatan.
Absorpsi obat dipengaruhi oleh aliran darah , rasa nyeri, stress, kelaparan , makanan dan pH. Srkulasi yang buruk akibat syok, obat obat vasokonstiktor, atau penyakit yang merintangi absorpsi. Rasa nyeri, stres dan makanan yang padat, pedas dan berlemak dapat memperlambat masa pengosongan lambung, sehingga obat lebih lama berada di dalam lambung. Latihan dapat mengurangi aliran darah dengan mengalihkan darah lebih banyak mengalir ke otot, sehingga menurunkan sirkulasi ke saluran gastrointestinal. Obat-obat yang diberikan secara intramuscular dapat diabsorpsi lebih cepat di otot-otot yang memiliki banyak pembuluh darah, seperti deltoid, daripada otot-otot yang memiliki lebih sedikit pembuluh darah, sehingga absorpsi lebih lambat pada jaringan yang demikian.beberapa obat tidak langsung masuk ke dalam sirkulasi sistemik setelah absorpsi tetapi melewati lumen usus masuk kedalam hati, melalui vena porta. Di dalam hati, kebanyakan obat dimetabolissasi menjadi bentuk yang tidak aktif untuk diekskresikan, sehingga mengurangi jumlah obat yang aktif. Proses ini dimana obat melewati hati terlebih dahulu disebut sebagai efek first-pass, atau first-pass hepatic. Contoh-contoh obat-obat dengan metabolism first-pass adalah warfarin (Coumadin) dan morfm. Lidokain dan nitrogliserin tidak diberikan secara oral, karena kedua obat ini mengalami metabolism first-pass yang luas, sehingga sebagian besar dari dosis yang diberikan akan dihancurkan. 

2.3    Distribusi
Distribusi adalah proses dimana obat menjadi berada dalam cairan tubuh dan jaringan tubuh. Distribusi obat ini dipengaruhi oleh aliran darah, afinitas (kekuatan penggabungan) terhadap jaringan, dan efek pengikatan dengan protein. Distribusi adalah proses suatu obat yang secara reversible meninggalkan aliran darah dan masuk ke interstisium (cairan ekstrasel) dan/atau ke sel-sel jaringan. Pengiriman obat dari plasma ke interstinum terutama tergantung pada aliran darah, permeabilitas kapiler, derajat ikatan ion obat tersebut dengan protein plasma atau jaringan dan hidrofobisitas dari obat tersebut. distribusi meliputi transport (pengangkutan) molekul obat di dalam tubuh. Setiap kali obat disuntikan atau diabsorbsi ke dalam aliran darah, obat di bawa oleh darah dan cairan jaringan ke tempat aksi obat (aksi farmakologi), tempat metabolisme, dan tempat ekskresi. Kebanyakan obat masuk dan meninggalkan aliran darah di tingkat kapiler, melewati celah antara sel yang membentuk dinding kapiler. Distribusi bergantung besarnya kecukupan sirkulasi darah. Obat di distribusikan cepat kepada organ yang menerima suplai darah dalam jumlah banyak seperti jantung, hati dan ginjal. Distribusi ke organ dalam lainnya seperti lemak otot, dan kulit biasanya lebih lambat. Sebuah faktor penting dalam distribusi obat adalah ikatan protein. Banyak obat membentuk ikatan komplek dengan plasma.   
Ketika obat didistribusi di dalam plasma, kebanyakan berikatan dengan protein (terutama albumin) dalam derajat (persentase) yang berbeda-beda. Obat-obat yang lebih besar dari 80% berikatan dengan protein dikenal sebagai obat-obat yang berikatan dengan tinggi protein. Salah satu contoh obat yang berikatan tinggi dengan protein adalah diazepam (Valium): yaitu 98% berikatan dengan protein. Aspirin 49% berikatan dengan protein dan termasuk obat yang berikatan sedang dengan protein. Bagian obat yang berikatan bersifat inaktif, dan bagian obat selebihnya yang tidak berikatan dapat bekerja bebas. Hanya obat-obat yang bebas atau yang tidak berikatan dengan protein yang bersifat aktif dan dapat menimbulkan respon farmakologik. Dengan menurunnya kadar obat bebas dalam jaringan, maka lebih banyak obat yang berada dalam ikatan dibebaskan dari ikatannya dengan protein untuk menjaga keseimbangan dari obat yang dalam bentuk bebas.
Jika ada obat yang berikatan tinggi dengan protein diberikan besama-sama maka terjadi persaingan untuk mendapatkan tempat pengikatan dengan protein, sehingga lebih banyak obat bebas yang dilepaskan ke dalam sirkulasi. Demikian pula kadar protein yang rendah menurunkan jumlah tempat pengikatan dengan protein, sehingga meningkatkan jumlah obat bebas dalam plasma. Dengan demikian dalam hal ini dapat terjadi kelebihan dosis, karena dosis obat yang diresepkan dibuat berdasarkan presentasi dimana obat itu berikatan dengan protein.
Protein utama adalah albumin yang bertindak sebagai pembawa obat. Molekul obat yang berikatan dengan protein plasma adalah farmakologi inaktif karena ukuran kompleknya (ikatan albumin+obat) yang besar, mencegah obat meninggalkan aliran darah melalui lubang kecil di dinding kapiler dan mencapai tempat aksi, metabolisme, dan ekskresi. Hanya bagian obat yang bebas atau tidak terikat yang dapat beraksi di dalam tubuh sel. Sebagai obat yang bebas obat beraksi di dalam sel, terjadi penurunan tingkat plasma obat karena beberapa ikatan obat terlepas.
Ikatan protein membolehkan bagian dari dosis obat untuk disimpan dan dilepaskan jika dibutuhkan. Beberapa obat juga disimpan di jaringan otot, lemak, dan jaringan tubuh lainnya. dan dilepaskan sedikit-demi sedikit ketika tingkat plasma obat menurun. Mekanisme penyimpanan ini memelihara tingkat obat rendah didalam darah dan mengurangi resiko keracunan. Obat yang diikat kuat oleh plasma protein atau disimpan dalam jumlah besar di jaringan tubuh memiliki aksi obat yang panjang.
Distribusi obat ke dalam Sistem Saraf Pusat (central nervous system) dibatasi karena terdapat sawar darah otak (blood–brain barrier), yang terdiri dari pembuluh darah kapiler dengan dinding tebal, membatasi pergerakan molekul obat masuk ke dalam jaringan otak. Sawar (penghalang) ini juga bertindak sebagai membran selektif permeabel yang menjaga Sistem Saraf Pusat (SSP). Namun hal ini juga menyebabkan terapi obat untuk gangguan sistem saraf sangat sulit diberikan karena harus melewati sel dari dinding kapiler dan lebih jarang antara sel. Sebagai hasilnya, hanya obat yang larut dalam lemak atau memiliki sistem transportasi yang dapat melewati sawar-darah otak dan mencapai kosentrasi terapeutik di dalam jaringan otak.
Distribusi obat selama kehamilan dan menyususi juga unik. Selama kehamilan, sebagian besar obat melewati plasenta dan dapat mempengaruhi bayi. Selama laktasi, banyak obat masuk ke dalam air susu dan dapat mempengaruhi bayi.
Obat disampaikan ke reseptor melalui sistem sirkulasi dan mencapai target reseptor yang dipengaruhi oleh aliran darah dan konsentrasi jumlah darah di reseptor tersebut. Konsentrasi obat di suatu sel dipengaruhi oleh kemampuan obat berpenetrasi ke dalam kapiler endotelium (tergantung ikatan obat dengan protein plasma) dan difusi melalui membran sel. Distribusi obat di darah, organ dan sel tergantung dosis dan rute pemberian, lipid solubilin obat, kemampuan berikatan dari protein plasma dan jumlah aliran darah ke organ dan sel.
Senyawa yang terdapat pada sebuah sediaan obat, selain zat aktif yang digunakan untuk pengobatan, juga ada senyawa-senyawa yang membantu proses distribusi zat aktif. Oleh sebab itu tidak dianjurkan kepada pasien atau tenaga medis merubah bentuk sediaan tanpa berkonsultasi dengan apoteker. Misalnya merubah tablet menjadi puyer, apabila dalam bentuk puyer ketersediaan hayati obat tersebut menjadi berkurang.
Jadi penting sekali untuk memeriksa persentasi pengikatan dengan protein dari semua obat-obat yang diberikan kepada klien untuk menghindari kemungkinan toksisitas obat. Harus memeriksa kadar protein plasma dan albumin plasma klien karena penurunan protein (albumin) plasma akan menurunkan tempat pengikatan dengan protein, sehingga memungkinkan lebih banyak obat bebas dalam sirkulasi. Tergantung dari obat (obat-obat) yang diberikan, akibat dari hal ini dapat mengancam nyawa.
    Abses, eksudat, kelenjar, dan tumor juga mengganggu distribusi obat. Antibiotik tidak dapat didistribusi dengan baik pada tempat abses dan eksudat. Selain itu, beberapa obat dapat menumpuk dalam jaringan tertentu, seperti lemak, tulang, hati, mata, dan otot.
Distribusi obat yang telah diabsorpsi tergantung beberapa faktor:
a.    Aliran darah
Setelah obat sampai ke aliran darah, segera terdistribusi ke organ berdasarkan jumlah aliran darahnya. Organ dengan aliran darah terbesar adalah Jantung, Hepar, dan Ginjal. Sedangkan distribusi ke organ lain seperti kulit, lemak dan otot lebih lambat
b.    Permeabilitas kapiler
Tergantung pada struktur kapiler dan struktur obat
c.    Ikatan protein
Obat yang beredar di seluruh tubuh dan berkontak dengan protein dapat terikat atau bebas. Obat yang terikat protein tidak aktif dan tidak dapat bekerja. Hanya obat bebas yang dapat memberikan efek. Obat dikatakan berikatan protein tinggi bila >80% obat terikat protein.

Interaksi yang terjadi pada proses distribusi.
Mekanisme interaksi yang melibatkan proses distribusi terjadi karena pergeseran ikatan protein plasma. Interaksi obat yang melibatkan proses distribusi akan bermakna klinik jika: (1) obat indeks memiliki ikatan protein sebesar > 85%, volume distribusi (Vd) obat < 0,15 I/kg dan memiliki batas keamanan sempit; (2) obat presipitan berikatan dengan albumin pada tempat ikatan (finding site) yang sama dengan obat indeks,
serta kadarnya cukup tinggi untuk menempati dan menjenuhkan binding-site nya. Contohnya, fenilbutazon dapat menggeser warfarin (ikatan protein 99%; Vd = 0,14 I/kg) dan tolbutamid (ikatan protein 96%, Vd = 0,12 I/kg) sehingga kadar plasma warfarin dan tolbutamid bebas meningkat. Selain itu, fenilbutazon juga menghambat metabolisme warfarin dan tolbutamid.


Mekanisme Distribusi Obat
Obat setelah diabsorbsi akan tersebar melalui sirkulasi darah keseluruh badan. Dalam peredarannya, kebanyakan obat-obat di distribusikan melalui membrane badan dengan cara yang relative lebih mudah dan lebih cepat dibanding dengan eliminasi atau pengeluaran obat.

2.4    Metabolisme
Karena senyawa lifofil sebagian besar di reabsorbsi kembali kedalam tubuli ginjal setelah filtrasi glomerulus, maka senyawa ini hanya dapat di ekskresi dengan lambat melalu ginjal. Karena itu seandainya semyawa ini tisak diubah secara kimia, mungkin berbahaya karena bahan bahan demikian menetap dalam tubuh dan terakumulasi terutama pada jaringan lemak. Karena itu tidak lah mengherankan organisme memiliki system enzim yang dapat mengubah xenobiotika lifopil menjadi bahan yang lebih hidrofil dan lebih mudah dapat di ekskresi. Laju eliminasi bahan yang larut dalam lemak bergantung, sebgian besar kepada berapa cepat  senyawa ini di metabolism menjadi senyawa-senyawa yang lebih larut  dalam air dalam organisme. Proses perubahan senyawa asing di sebut biotransformasi.
Biotransformasi terjadi terutama  dalam hati dan hanya dalam jumlah yang sangat rendah terjadi dalam organ lain (misalnya dalam usus, ginjal, paru-paru, limpa,  otot, kulit, atau dalam darah). Enzim yang terlibat dalam biotransformasi terdapat terikat pada struktur dan di samping itu tak erikat pada struktur. Enzim yang terikat pada struktur,  terlokalisasi terutama dalam membrane retkulum endoplasma dan sebagian juga dalam mitokondria. Enzim yang tak terkat pada struktur terdapat sebgai enzim yang larut (misalnya esterase, emidase). Enzim-enzim ini sebagian tak spesifik terhadap subtract. Ini berarti bahwa enzim mampu mengubah substrat dengan struktur kimia yang sangat berbeda. Disamping organ organ tubuh sendiri, flora usus juga membantu dalam biotransformasi. 
1.    Reaksi fase 1
Reaksi biotransformasi yang mengubah molekul obat secara oksidasi, reduksi atau hidrolisis disebut fase 1. Sedangkan pada reaksi pase 2 terjadi penggabungan (konjugasi) molekul-l=molekul obat dan juga metabolit-metabolit yang terjadi pada fase 1 dengan senyawa tubuh sendiri. Dalam banyak hal diperlukan reaksi fase 1 sebagai persyaratan reaksi konjugasi. 
a.    Reaksi oksidasi 
Yang sangat penting untuk biotransformasi ialah reaksi oksidasi yang melibatkan oksidase, monooksigenase, dan dioksigenase. Oksidase mengoksidasi melalui penarikan hydrogen atau electron. Oleh monooksigenase, satu atom iksigen dari molekul oksigen diikat pada bahan asing dan atom oksigen lain direduksi menjadi air. Sebaliknya dioksigenase memasukkan ke dua atomdari 1 molekul oksigen kedalam xenobiotika. Monooksigenase yang mengandung sitokrom P-450 dan juga P-448 yang merupakan protein hem memiliki makna terbesar untuk biotransformasi oksidasi obat. Mikrosom sdalah bagian pecahan dariretikulum endoplasma yang terjadi pada sentrifugasi terfraksinasi dari homogenate sel hati. Enzim yang terikat pada mikrosom disebut enzim mikrosom. Enzim pengoksidasi yang penting lainnya adalah :
•    Alkoholdehidrogenase yang mendehidrasi alcohol, khususnya etanol menjadi dehida. 
•    Monoaminoksidase yang umumnya bekerja secara oksidasi pada amina biogenic.
•    Aldehida-oksidase, yang mengubah aldehida menjadi asam
•    N-oksidase, yang tidak mngandung sitokrom P-450 melainkan FAD dan mengubah amina sekunder menjadi hidroksilamina, amina tersier menjadi N-oksida. 
b.    Reaksi reduksi
Dibandingkan dengan oksidasi, reduksi hanya memegang peranan kecil pada biotransformasi. Yang masih belum diketahui seluruhnya ialah enzim yang terlibat dalam reduksi senyawa nitro menjadi amina yang sesuai. Secara toksikologik berarti ialah dehalogenisasi reduktif, misalnya pada karbromal serta dari karbontetraklorida menjadi kloropom. 
c.     Biohidrolisis 
Reaksi biohidrolisis penting :
•    Penguraian ester dan amida menjadi asam dan alcohol serta amina oleh esterase.
•    Pengubahan epoksida menjadi diol berdampingan oleh epoksidahidratase.
•    Hidrolisis glikosida oleh glikosidase. 
Sesungguhanya ester lebih cepat di hidrolisis di bandingkan emida. Enzim ini terdapat baik intrasel maupun juga ekstrasel, terikat pada mikrosom dan dalam bentuk terlarut. 
2.    Reaksi fase 2
Reaksi konjugasi berlangsung melibatkan transferase yang kebanyakan spesifik.reaksi konjugasi mencakup: 
a.    Reaksi antar senyawa yang mempunyai gugus hidroksil alcohol atau fenol, gugus amino, gugussulfhidril dan sebagian juga gugus karboksil dengan senyawa tubuh sendiri yan kaya akan energi
b.    Reaksi penggabungan antara senyawa asing, setelah diaktivasi dengan senyawa tubuh sendiri (tidak teraktivasi). Reaksi fase II terpenting adalah konjugasi dengan :
•    Asam glukuronat aktif
•    Asam amino (terutama glisin)
•    Asam asetat aktif
•    Sulfat aktif
•    S-adenosilmetionin
•    Serta pembentukan turunan asam merkapturat.
Metabolit fase II yang masih aktif secara biologi adalah ester asam sulfattriamteren, diuretika penyimpanan kalium.



2.5    Ekskresi 
Pengeluaran obat atau metabolitnya dari tubuh terutama dilakukan oleh ginjal melalui air seni disebut ekskresi. Selain itu ada pula beberapacara lain, yaitu:
a.    Kulit : bersama keringat, misalnya paraldehida dan bromida (sebagian).
b.    Paru-paru : melalui pernapasan, biasanya hanya zat-zat terbang, seperti alkohol, paraldehida dan anestetika (kloroform, halotan, siklopropan).
c.    Empedu : ada obat yang dikeluarkan secara aktif oleh hati dengan empedu, misalnya fenoftalein (pencahar). Setelah tiba kembali dalam usus dengan empedu, obat diresorpsi lagi. Siklus enterohepatis ini memperpanjang eksistensi obat dan lama kerjanya, tetapi akhirnya dengan induksi enzim diubah menjadi metabolit yang mudah diekskresi ginjal. Adakalanya obat di dalam usus diionisasi hingga tidak diresorpsi kembali dan dikeluarkan dengan tinja. Contoh lain adalah zat-zat asam (asam empedu, asam organik iod, yang digunakan sebagai obat diagnostik saluran empedu) dan antibiotika penisilin, eritromisin serta rifampisin, yang melarut baik di dalam empedu dan digunakan pada penyakit infeksi saluran empedu. Pada umumnya tubuh condong mengeliminasi melalui empedu obat dengan berat molekul di atas 600 Dalton.
•    Air susu ibu. Cara ekskresi ini hanya penting diperhatikan untuk bayi, karena dapat menimbulkan keracunan. Misanya alkohol, obat-obat tidur, nikotin (rokok) dan alka loida lain (berhubung pH air susu adalah lebih kurang 6,7 dan lebih rendah dari pH darah). Yang sangat berbahaya adalah obat yang diekskresi dalam jumlah agak besar melalui air susu, seperti penisilin (sensitasi), kloramfenikol, INH, ergotamin, antikoagulansia dan antitiroida, karena sistem enzim hati pada neonati belum berkembang sempurna. 
•    Usus. Zat-zat yang tidak atau tak lengkap diresorpsi usus dikeluarkan dengan tinja, misalnya sulfasuksidin, neomisin dan sediaan-sediaan besi.
Ginjal. Kebanyakan obat dikeluarkan melalui air seni dan lazimnya tiap obat diekskresi berupa metabolitnya dan hanya sebagian kecil dalam keadaan asli yang utuh mialnya, penisilin, tetrasiklin,digoksin dan salisilat. Zat-zat dalam keadaan ion yng mudah larut di air seni diekskresi dengan mudah. Zat-zat lipofil dan zat-zat tak terionisasi lebih lambat ekskresinya, untuk meningkatkan sifat hidrofilnya, maka pada biotransformasi dimasukkan gugus –OH dan atau –COOH ke dalam molekulya. Dengan jalam oksidasi rantai-samping dan konyugasi keasaman asam-asam lemak dinaikkan agar disosiasi dan demikian pula ekskresinya diperkuat. Ginjal memiliki beberapa mekanisme ekskresi obat, yang pada hakikatnya tidak berbeda dengan mekanisme transpor umumyang berlaku bagi membran-membran lain, yakni transpor secara pasif atau aktif.
a.    Filtrasi glomeruli (pasif) . obat dan metabolitnya yang terlarut dalam plasma melintasi dinding glomeruli secara pasif dengan ultrafiltrat . selama filtrat ini dipekatkan dalam tubuli zat-zat lipofil berdifusi kembali secara pasif pula melalui membran selnya ke dalam darah dan dengan demikian menghindari ekskresi. Zat-zat hidrofil hampir tidak didifusi kembali dan langsung dikeluarkan lewat urin. Ekskresi dapat diperlancar dengan memperkuat disosiasi obat yang kebanyakan bersifat asam atau basa lemah dengan derajat ionisasi agak ringan. Misalnya untuk asam seperti barbital dapat diberikan natrium bikarbonat hingga air seni bereaksi basa. Untuk alkaloida pemberian amonium klorida akan meningkatkan keasaman air seni, sehingga obat tersebut lebih banyak ionisasinya. 
b.    Transpor aktif  Tubuli dapat mensekresi secara aktif zat-zat tertentu, misalnya ion asam organis seperti penisilin, vitamin C, asam salisilat, juga probenesid. Sekresi berlangsung dengan bantuan enzim pengangkut dan kadang-kadang terjadi persaingan antara beberapa ion untuk enzim ini. Misalnya probenesid menyaingi penisilin untuk enzim pengangkutnya hingga ekskresi antibiotic.


BAB III
PENUTUP


1.1     Kesimpulan 
1.    Farmakokinetika adalah ilmu yang mempelajari pergerakan obat dalam tubuh.
2.    Farmakokinetik obat meliputi proses absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi.
3.    Masuk ketarget obat sifat nya lipofil dan saat keluar sifatnya hidrofilik
4.    Absorpsi penyerapan obat dari tempat pemberian ke pembuluh darah
5.    Jarak dari tempat pemberian ke pembuluh darah, semakin dekat semakin cepat untuk di absorsbsi 
6.    INTRAVENA tidak mengalami absorbs dan langsung menuju distribusi. 

1.2     Saran
Karena kurangnya buku pegangan yang kami miliki maupun keterbatasan kemampuan, kami menyadari bahwa makalah ini masih perlu diperbaiki lagi. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat kami butuhkan demi penulisan yang lebih baik untuk kedepannya.











DAFTAR PUSTAKA

0 Response to "(MAKALAH FARMAKOLOGI FARMASI) FARMAKOKINETIK"

Posting Komentar